Minggu, 06 November 2011

LAPORAN PEMICU 1 BLOK 10: MORFOLOGI DAN FUNGSI GIGI

PENDAHULUAN
1.2 Deskripsi Topik
Nama Pemicu : Morfologi dan fungsi gigi
Narasumber : 1. Rehulina Ginting.,drg, MSi
2. Minasari.,drg
Tanggal : 17 Oktober 2011
Skenario :
Seorang anak perempuan berusia 10 tahun dibawa ibunya ke dokter gigi dengan keluhan gigi depan kedua kanan dan kiri atas belum tumbuh juga, sedangkan gigi susunya sudah dicabut 4 tahun yang lalu. Hasil pemeriksaan klinis diperoleh 12 dan 22 belum erupsi. Hasil radiografi menunjukkan 12 tidak ada benih, 22 ada benih. Gigi insisivus dan molar permanen rahang atas dan rahang bawah sudah erupsi dengan baik.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Erupsi gigi
Erupsi gigi merupakan suatu proses fisiologis berupa proses pergerakan gigi yang dimulai dari tempat pembentukan gigi dalam tulang alveolar kemudian gigi menembus gingiva sampai akhirnya gigi mencapai dataran oklusal. Erupsi gigi terjadi jika tonjol gigi atau tepi insisal dari gigi muncul menembus gingival dan tidak melebihi 3 mm di atas gingival level yang dihitung dari tepi insisal gigi.
Gerakan dalam proses erupsi gigi adalah ke arah vertikal tetapi selama proses erupsi gigi berlangsung, gigi juga mengalami pergerakan miring, rotasi dan pergerakan ke arah mesial. Proses erupsi gigi dimulai sebelum tanda pertama mineralisasi dimana proses erupsi gigi ini terus-menerus berlangsung tidak hanya sampai terjadi kontak dengan gigi antagonisnya, tetapi juga sesudahnya, meskipun gigi telah difungsikan. Proses erupsi gigi berakhir bila gigi telah tanggal.
Adanya pergerakan pada proses erupsi gigi akan menstimulasi pertumbuhan tulang rahang dalam arah panjang dan lebar. Hal ini terbukti bila gigi tanggal pada masa pertumbuhan dan perkembangan tulang rahang maka tulang rahang di sekitar gigi yang tanggal tersebut mengalami ketertinggalan dalam pertumbuhannya dibandingkan dengan tulang rahang di sekitar gigi yang tidak tanggal. Benih-benih gigi desidui dan gigi-gigi permanen mula-mula terhadap oklusal keduanya sejajar.

Dengan pertumbuhan rahang, gigi desidui akan lebih terdorong ke arah oklusal, makin tertinggal benih gigi permanen dan akhirnya benih gigi permanen ini menempati lingual akar atau antara akar-akar gigi desidui.
2.1.a Urutan waktu erupsi gigi permanen2
Gigi Permanen Waktu erupsi
M1 mandibula 6-7 tahun
M1 maxila 6-7 tahun
I1 mandibula 6-7 tahun
I1 maxila 7-8 tahun
I2 mandibula 7-8 tahun
I2 maxilla 8-9 tahun
C mandibula 10-11 tahun
P1 maxila 10-11 tahun
P1 mandibula 10-11 tahun
P2 maxila 10-12 tahun
C maxila 11-12 tahun
P2 mandibula 11-12 tahun
M2 mandibula 11-12 tahun
M2 maxila 12-13 tahun
M3 maxila dan mandibula 17-21 tahun

2.2 Gangguan erupsi gigi
Pemunculan gigi yang terlambat atau lebih cepat dari rata-rata waktu erupsi gigi yang normal baik pada gigi desidui maupun gigi permanen.
Gangguan ini antara lain :
a. Gangguan waktu erupsi
Gangguan waktu erupsi dapat dibagi menjadi 3, antara lain:
a. Erupsi prematur
b. Erupsi terlambat
c. Kegagalan erupsi.
a. Erupsi Prematur
Erupsi prematur atau erupsi dini ialah munculnya gigi di rongga mulut yang lebih cepat dari rata-rata waktu erupsi. Gigi dinyatakan bererupsi prematur (erupsi dini) bila gigi menembus mukosa mulut sebelum usia tiga bulan untuk gigi susu dan sebelum umur empat tahun untuk gigi permanen.
Pada saat bayi lahir adakalanya satu atau dua gigi. insisivus mandibula sudah bererupsi di rongga mulut, gigi ini disebut dengan gigi. natal sedangkan gigi yang nenembus mukosa mulut dalam waktu 30 hari setelah kelahiran dikenal dengan gigi neonatal. Baik gigi natal maupun gigi neonatal merupakan contoh dari gigi yang bererupsi secara prematur.
b. Erupsi Terlambat (delayed eruption)
Gigi dinyatakan mengalami erupsi terlambat jika gigi menembus mukosa mulut lebih lambat 1-3 tahun dari waktu rata-rata erupsi gigi. Kondisi ini dapat terjadi pada gigi susu maupun gigi permanen, tetapi lebih sering pada gigi permanen. Erupsi yang terlambat pada gigi susu maupun gigi permanen dapat terjadi secara menyeluruh atau hanya mengenai satu atau beberapa gigi saja.
c. Kegagalan Erupsi
Kegagalan erupsi adalah gigi yang erupsinya terhalang oleh sesuatu sebab sehingga gigi tersebut tidak keluar dengan sempurna mencapai oklusi yang normal di dalam deretan susunan gigi geligi Kegagalan erupsi dapat terjadi pada gigi susu maupun gigi permanen.
Pada umumnya faktor-faktor yang menyebabkan gigi gagal bererupsi hampir sama dengan faktor-faktor yang menyebabkan erupsi gigi yang terlambat.
b. Gangguan jumlah gigi
Kelainan mengenai jumlah elemen gigi geligi normal biasanya mengenai kelebihan dan kekurangan jumlah gigi.
1. Kekurangan jumlah gigi1
Kekurangan jumlah gigi juga dikenal dengan anodontia. Anadonsia sendiri terbagi atas:
a. Complete Anadontia
Complete anadonsia adalah suatu keadaan di mana semua benih gigi tidak terbentuk sama sekali, dan merupakan suatu kelainan yang sangat jarang terjadi. Anodontia dapat terjadi hanya pada periode gigi tetap/permanen, walaupun seluruh gigi sulung telah terbentuk.1,4
b. Oligodonsia
Oligodonsia merupakan suatu keadaan dimana tidak adanya lebih dari 6 gigi.1
c. Hipodonsia
Hipodonsia merupakan suatu keadaan dimana tidak adanya gigi dalam rentang 1-6 gigi. Kondisi kelainan ini dapat melibatkan gigi susu maupun gigi permanen, namun seringkali pada gigi permanen. Pada hipodonsia gigi-gigi yang sering tidak terbentuk adalah gigi premolar 2 rahang bawah, insisivus 2 rahang atas, dan premolar 2 rahang atas.
2.4 Faktor-faktor yang mengganggu proses erupsi secara umum
1. Faktor Keturunan (Genetik)
Faktor keturunan dapat mempengaruhi kecepatan waktu erupsi gigi. Faktor genetik ini mempunyai pengaruh terbesar dalam menentukan waktu dan urutan erupsi gigi, termasuk proses kalsifikasi. Pengaruh faktor genetik terhadap erupsi gigi adalah sekitar 78 %.

2. Faktor Lingkungan
Pertumbuhan dan perkembangan gigi dipengaruhi oleh faktor lingkungan tetapi tidak banyak mengubah sesuatu yang telah ditentukan oleh faktorketurunan. Pengaruh faktor lingkungan terhadap waktu erupsi gigi adalah sekitar 20 %.

Faktor-faktor yang termasuk ke dalam faktor lingkungan antara lain:
a. Sosial Ekonomi
Tingkat sosial ekonomi dapat mempengaruhi keadaan nutrisi, kesehatan
seseorang dan faktor lainnya yang berhubungan. Anak dengan tingkat ekonomi rendah cenderung menunjukkan waktu erupsi gigi lebih lambat dibanding anak tingkat ekonomi menengah. Anak-anak yang berasal dari tingkat sosial ekonomi tinggi memperlihatkan erupsi gigi lebih cepat dibandingkan anak-anak yang berasal dari tingkat sosial ekonomi rendah. Hal ini berhubungan dengan nutrisi yang diperoleh anak-anak dengan tingkat sosial ekonomi tinggi lebih baik.

b. Nutrisi
Faktor pemenuhan gizi dapat mempengaruhi waktu erupsi gigi dan perkembangan rahang.Nutrisi sebagai faktor pertumbuhan dapat mempengaruhi erupsi, tetapi hal ini terjadi pada malnutrisi yang hebat.Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan keterlambatan erupsi gigi. Nutrisi sebagai faktor pertumbuhan dapat mepengaruhi erupsi dan proses kalsifikasi. Keterlambatan waktu erupsi gigi dapat dipengaruhi oleh faktor kekurangan nutrisi, seperti vitamin D dan gangguan kelenjar endokrin. Pengaruh faktor nutrisi terhadap perkembangan gigi adalah sekita 1 %.

3. Faktor Penyakit
Gangguan pada erupsi gigi permanen dapat disebabkan oleh penyakit sistemik
dan beberapa sindroma, seperti Down syndrome, Cleidocranial dysostosis,
Hypothyroidism, Hypopituitarism, beberapa tipe dari Craniofacial synostosis dan
Hemifacial atrophy.

4. Faktor Lokal
Faktor-faktor lokal yang dapat mempengaruhi erupsi gigi adalah jarak gigi ke tempat erupsi, malformasi gigi, adanya gigi berlebih, trauma dari benih gigi,mukosa gingiva yang menebal, dan gigi desidui yang tanggal sebelum waktunya.
5. Faktor Ras
Waktu erupsi gigi orang Eropa dan campuran Amerika dengan Eropa lebih lambat daripada waktu erupsi orang Amerika berkulit hitam dan Amerika Indian. Orang Amerika, Swiss, Perancis, Inggris, dan Swedia termasuk dalam ras yang sama yaitu Kaukasoid dan tidak menunjukkan perbedaan waktu erupsi yang terlalu besar.

2.5 Faktor-faktor yang menyebabkan gigi insisivus lateralis (22) permanen tidak erupsi
Pada gigi yang telah memiliki benih gigi, dapat terjadi gangguan delayed eruption. Hal ini dapat dipicu karena faktor-faktor seperti :
1. Faktor umum
a. Gangguan endokrin
Gangguan erupsi dapat terjadi pada orang yang mengalmi hipotiroidism dan hipotiroidism. Disini elemen-elemen menunjukkan di samping email hipoplastik dan tidak sempurna, terjadi pembentukan akar yang lambat dan pemunculan yang tertunda.1
b. Defisiensi insulin
Pada sebagian penderita defisiensi insulin ditemukan adanya keterlambatan erupsi gigi- gigi permanen anterior sampai gigi permanen premolar.1
c. Fibrosis kistik
Pada kondisi patologis seperti fibrosis kistik pemunculan gigi yang lebih lambat dari rata-rata waktu erupsi disebabkan karena gangguan pembentukan benih gigi yang lebih lambat.6
d. Hipovitaminosis D
Kurangnya jumlah vitamin D dari jumlah normal yang dibutuhkan oleh tubuh dapat menyebabkan hipoplasia email dan ganggua pertumbuhan tulang sehingga gigi bererupsi lebih lambat.1

2. Faktor lokal
Faktor ini melibatkan satu atau beberapa gigi tetap. Faktor ini dianggap paling penting dalam terjadinya delayed eruption.
a. Pembengkokan akar abnormal
Pembengkokan akar dapat terjadi jika mahkota gagal menembus ginggiva namun pertumbuhan akar tetap berlanjut. Pembengkokan akar ini dapat memperlambat proses erupsi1
b. Ankilosis
Ankilosis merupakan suatu keadaan dimana sementum dari gigi bersatu dengan tulang disekitar gigi tersebut. Keadaan ini menyebabkan gigi tidak dapat bergerak walaupun ada tekanan erupsi1
c. Tulang yang tebal dan padat
Gagalnya gigi bererupsi pada kondisi ini disebabkan konsistensi tulang yang sangat keras dan padat sehingga tekanan erupsi normal tidak mencukupi untuk menembus tulang yang tebal dan padat tersebut.6
d. Tempat untuk gigi tersebut kurang.
Kurangnya tempat untuk gigi yang disebabkan oleh berbagai hal seperti ukuran gigi yang terlalu besar, tulang rahang yang tidak berkembang juga dapat menyebabkan gigi tidak muncul di rongga mulut.6
e. Posisi gigi tetangga menghalangi erupsi gigi tersebut.
Posisi gigi tetangga yang menghalangi jalannya erupsi dapat menyebabkan gigi tidak muncul ke permukaan.6
f. Adanya gigi susu yang persistensi
Gigi susu yang tidak tanggal pada waktunya (persistensi) dapat menyebabkan kegagalan erupsi pada gigi permanen. Kegagalan erupsi gigi permanen pada kondisi gigi persistensi ini disebabkan oleh tidak tersedianya ruangan untuk gigi permanen yang akan erupsi menggantikan gigi susu yang persistensi tersebut.6
g. Makrodonsia
Makrodonsi merupakan kelainan dimana gigi berukuran lebih besar dari normalnya. Kelainan ini dapat terjadi pada pasien yang mengalami hipertiodism atau gigantisme.1
h. Kehilangan prematur elemen gigi sulung
Hilangnya gigi sulung sebelum setengah dari akar gigi permanen terbentuk dapat menyebabkan terlambatnya pemunculan gigi pengganti. Hal ini ada hubungannya dengan jaringan ginggiva yang sudah tertutup kembali akibat gigi tanggal terlalu dini sehingga tekanan erupsi normal tidak mencukupi untuk menembus ginggiva yang sudah tertutup tersebut1
i. Trauma gigi sulung
Trauma pada gigi sulung dapat menyebabkan kerusakan pada kantung gigi permanen sehingga mengakibatkan gangguan selama proses erupsi gigi menjadi lebih lambat1
2.6 Faktor yang menyebabkan gigi inisisivus lateral 11 tidak erupsi
Pada gigi 11 pada anak dalm skenario, hasil pemeriksaan klinis menunjukkan gigi 11 tidak memiliki benih. Tidak adanya benih dapat disebabkan karena adanya gangguan pada tahap pembentukan benih gigi, yaitu tahap bud atau tahap inisiasi.
Tahap bud
Tahap bud adalah suatu tahap permulaan pembentukan kuntum gigi yang merupakan hasil proliferasi sel-sel ektodermal pada lapisan lamina dentis. Tahap bud ini berlangsung pada minggu ke-10 inta uterin. Adapun perubahan yang paling nyata dan paling dominant terjadi pada tahap bud ini proliferasi jaringan ektodermal dan jaringan mesenkimal yang terus berlanjut.
Kuntum gigi desidui berbentuk oval yang telah terbentuk pada tahap bud inilah yang kemudian dikenal sebagai organ enamel. Sel-sel pada organ enamel gigi ini berisi lebih banyak RNA (ribonukleat acid),lebih sedikit glikogen,dan aktivitas enzim oksidatif yang lebih besar dibandingkan sel-sel yang terdapat pada jaringan ektodermal yang berdekatan dengan organ enamel gigi desidui tersebut. RNA diperlukan dalam pembentukan ribosom. Adanya organela-organela sitoplasma dalam sel-sel organ enamel menandakan bahwa sel-sel organ enamel sudah mulai mengadakan metabolisme untuk memenuhi kebutuhan sel-sel organ enamel itu sendiri dan mempersiapkan sel-sel organ enamel sehingga mampu mensintesa protein yang menjadi matriks organik dalam pembentukan enamel.
Kuntum gigi permanent dibentuk pada ujung distal lamina dentis di atas berproliferasi secara teratur ke bagian posterior untuk memulai organ enamel.
Gangguan tahap bud
Gangguan tahap bud dapat terjadi pada proses proliferasi sel mesenkimal maupun pada proses sintesis protein yang membentuk matriks organ enamel.
Gangguan proses proliferasi dapat terjadi jika adanya paparan sinar radiasi, infeksi pada masa kehamilan, penyakit Syndroma Down, Sifilis dan Rubella.
2.7 Morfologi gigi
Morfologi gigi mencangkup bentuk, ukuran dan perbandingan ukuran gigi yang dipandang dari berbagai aspek pandangan, seperti aspek labial, palatal-lingual, mesial, distal dan insisal.
Pandangan labial adalah pandangan permukaan gigi anterior yang dekat dengan bibir. Sedangkan, pandangan palatal-lingual adalah pandangan terhadap gigi dari arah gigi yang menghadap ke palatal atau lingual. Pandangan mesial adalah pandangan terhadap gigi yang mengarah ke median line rahang, sedangkan pandangan distal adalah pandangan terhadap gigi dengan sisi menjauhi median line.
2.7.a Morfologi gigi insisivus lateralis maxila4
Pandangan/aspek Keterangan
Pandangan labial Korona berbentuk sekop yang membulat dengan panjang 9mm
Akar ramping dan hampir bundar, dengan panjang 13mm
Lengkung incisal ridge dan sudut insisal membulat, baik mesial maupun distal
Sudut mesioinsisal membulat
Letak titik kontak , Mesial : 1/6 kali korona dan distal : 1/3 kali korona
Panjang gigi keseluruhan 22,5 mm
Aspek palatal Mesial dan distal marginal ridge terlihat jelas
Cingulum menonjol ke arah developmental grooves yang berada di dalam palatal fossa.
Palatoinsisal ridge jelas.
Gigi runcing kearah palatal, mengikuti gigi insisivus sentralis
Cingulum, fosssa berbentuk huruf V
Aspek Mesial Mahkota gigi berbentuk segitiga
Lengkung garis servikal searah insisal ridge
Garis tengah membagi dua insisal ridge
Aspek Distal Developmental groove di sebelah distal mahkota meluas kesepanjang akar
Aspek insisal Ukuran labiopalatal lebih besar dibanding ukuran mesiodistal. Ukuran labiopalatal mahkota 6mm, ukuran mesiodstal 5,1mm
Permukaan labiopalatal lebih cembung dibanding insisivus sentralis




2


2.7.b Perbedaan morfologi gigi insisivus sentralis dan lateralis maxila4
Gigi insisvus sentralis maxila Gigi insisivus lateralis maxila
Aspek labial Ukuran gigi paling besar diantara gigi lainnya Ukuran mahkota gigi lebih kecil
Permukaan labial cembung Permukaan labial lebih cembung
Ukuran mesiodistal 8-9mm Ukuran mesiodistal 2mm lebih kecil
Akar berbentuk kerucut dan tumpul Akar ramping dan runcing
Letak titik kontak
Mesial : 1/8 kali korona
Diatal : ¼ kali korona Letak titik kontak
Mesial : 1/6 kali korona
Distal : 1/3 kali korona
Aspek Palatal Corak marginal ridge-cingulum berbentuk huruf M Corak marginal ridge-cingulum berbentuk huruf V
Groove, fosaa nyata Groove, fossa lebih nyata
Aspek Insisal Insisal ridge terlihat jelas Insisal ridge lebih kecil daripada insisivus sentralis
Permukaan labiopalatal cembung Permukaan labiopalatal lebih cembung

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
1. Schuurs A.H.B. Patologi gigi-geligi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press,1992: 15-16.
2. Itjingningsih. Anatomi Gigi. Jakarta : EGC. 1991: 102-107, 158
3. Nasution MI. Morfologi gigi desidui dan gigi permanen. Medan : USU Press, 2010: 34-40.
4. Susanto AJ. Abnormalitas pada gigi. ( 27 april 2010) < http://repository.ui.ac.id> (17 Oktober 2011).
5. Paradipta A. Pertumbuhan gigi susu dan gigi permanen dilihat dari umur. ( 10 Februari 2011). < http://paradipta.blogspot.com/> (17 Oktober 2011)

Immunologi Penyakit Wajah, Rahang dan Sendi rahang

A.    PENDAHULUAN
Dalam menghadapi serangan benda asing yang dapat menimbulkan infeksi atau kerusakan jaringan, tubuh manusia memiliki sistem pertahanan tubuh untuk melindungi dirinya. Mekanisme ini dikenal dengan mekanisme immunitas. Mekanisme immunitas ini melindungi tubuh dari berbagai macam virus, bakteri, cacing parasit, zat-zat asing dan patogen lain yang berpotensi membahayakan. Selain itu, tubuh juga menangani sel tubuh abnormal, yang pada beberapa kasus dapat berkembang menjadi kanker.1
Pada sistem imunitas terdapat tiga garis pertahanan yang saling bekerjasama untuk menghadapi dan menangkis serangan. Dua diantaranya bersifat nonspesifik  yaitu tidak membedakan satu gen infeksi dengan gen infeksi yang lainnya. Garis pertahanan pertama non spesifik itu bersifat eksternal, yang terdiri atas jaringan epitelium yang menutupi tubuh ( kulit dan membran mukosa) beserta sekresi yang dihasilkannya. Garis pertahanan non spesifik yang kedua bersifat internal, pertahanan ini dipicu oleh sinyal kimiawi dan melibatkan sel-sel fagositik dan protein antimikroba yang secara nonspesifik menyerang penyerang yang telah menembus rintangan tubuh bagian luar. Munculnya peradangan merupakan suatu tanda bahwa garis pertahanan kedua ini telah diaktifkan.1,2
Garis pertahanan ketiga adalah sistem kekebalan. Sistem kekebalan ini mulai memainkan peranannya secara bersamaan dengan garis pertahanan kedua, tetapi ia merespon dengan cara spesifik terhadap mikroorganisme tertentu, sel-sel tubuh yang menyimpang, toksin, dan zat-zat lain yang ditandai sebagai molekul asing. Respon kekebalan, yang meliputi produksi protein pertahanan spesifik yang disebut antibodi, melibatkan sebuah kelompok sel darah putih yang beragam yang disebut limfosit2. Baik pertahanan spesifik maupun non spesifik ini melibatkan reaksi yang bersifat seluler maupun humoral.1 Sistem imun tubuh kita yang meliputi garis pertahanan pertama dan kedua ini dikenal dengan sistem imunitas yang Innate (alamiah), sedangkan garis pertahan ketiga yang merupakan sistem kekebalan dikenal dengan sistem imunitas yang Adaptive (Aquired, didapat).
MEKANISME PERTAHANAN NONSPESIFIK
Garis pertahanan pertama
·         Kulit dan Membran mukosa
Barier protektif mukosa mulut terlihat berlapis-lapis terdiri atas air liur pada permukaannya, lapisan keratin, lapisan granular, membrane basal, dan komponen seluler serta humoral yang berasal dari pembuluh darah. Komposisi jaringan lunak mulut merupakan mukosa yang terdiri dari skuamosa yang karena bentuknya, berguna sebagai barier mekanik terhadap infeksi. Mekanisme proteksi, tergantung pada deskuamasinya yang konstan sehingga bakteri sulit melekat pada sel-sel epitel dan derajat keratinisasinya yang mengakibatkan epitel mukosa mulut sangat efisien sebagai barier.1
Jaringan lunak rongga mulut berhubungan dengan nodus limfatik ekstraoral dan agregasi limfoid intraoral. Suatu jaringan halus kapiler limfatik yang terdapat pada permukaan mukosa lidah, dasar mulut. Palatum, pipi, bibir mirip yang berasal dari gusi dan pilpa gigi. Kapiler-kapiler ini bersatu membentuk pembuluh limfatik besar dan bergabung dengan pembuluh limfatik yang berasal dari bagian di dalam otot lidah dan struktur lainnya. Antigen mikrobial yang dapat menembus epitel masuk ke lamina propria. Akan difagositosis oleh sel-sel Langerhans yang banyak ditemukan pada mukosa mulut.
·         Saliva
Saliva disekresikan oleh kelenjar parotis, submandibularis, submaksilaris, dan beberapa kelenjar ludah kecil pada permukaan mukosa. Aliran air liur sangat berperan dalam membersihkan rongga mulut dari mikroorganisme dan pelumas aksi otot lidah, bibir, dan pipi.1
Kelenjar saliva yang mengandung sel plasma dan limfosit, terdiri atas 6 kelenjar saliva utama dan beberapa kelenjar saliva kecil yang tersebar di bawah mukosa mulut. Kelenjar saliva ini memproduksi IgA yang akan disekresikan ke dalam rongga mulut dalam bentuk sIgA. Sekresi ini juga mengandung protein antimikroba lisozim.5



·          Celah gusi
Komponen selular dan humoral dari darah akan melewati epitel junctional yang terletak pada celah gusi dalam bentuk cairan celah gusi. Cairan celah gusi ini mengandung leukosit dan komponen komplemen selular dan humoral yang terlibat dalam respon imun.1
Garis pertahanan kedua
Mikroba yang menembus garis pertahanan pertama, misalnya mikroba yang masuk lewat luka pada kulit akan menghadapi garis pertahanan kedua. Mekanisme ini bergantung pada fagositosis, yaitu proses penelanan organisme yang menyerang tubuh oleh jenis sel darah putih tertentu. Fungsi fagosit ini akan sangat terjait dengan proses peradangan dan protein antimikroba.
·         Sel fagositik dan sel natural killer
Sel fagosistik yang disebut neutrofil meliputi 60%dari leukosit. Sel-sel yang dirusak oleh mikroba akan membebaskan sinyal kimiawi secara kemotaksis yang menarik neutrofil untuk datang, neutrofil akan memasuki jaringan yang terinfeksi, lalu menelan dan merusak mikroba.
Makrofag jaringan merupakan bentuk dewasa dari monosit. Sel ini menjulurkan pseudopodianya dan memakan mikroba yang akan dirusak dengan enzim lisosom makrofaga. Sel natural killer tidak akan langsung merusak mikroba, namun akan merusak sel yang diserang virus dan sel abnormal yang dapat membentuk tumor.2,10
·         Respon peradangan
Respon peradangan dimulai dengan adanya sinyal kimiawi. Sel basofil dan sel mast akan mengeluarkan histamin yang memicu pembesaran dan peningkatan permeabilitas kapiler di dekatnya. Leukosit dan sel-sel yang rusak akan mengeluarkan prostaglandin yang meningkatkan aliran darah ke tempat yang luka. Peningkatan aliran ini meningkatkan migrasi sel fagositik yang juga diperantarai oleh faktor kemotaksis (kemokin).10
·         Sistem komplemen
Protein antimikroba yang paling penting dalam darah adalah protein sistem komplemen serta interferon. Disekresi oleh sel-sel yang terinfeksi virus, interferon menghambat produksi virus di sekitas daerah terinfeksi.
MEKANISME PERTAHANAN SPESIFIK
Garis pertahanan ketiga
·         Respon kekebalan humoral dan respon yang diperantarai sel
Pada garis pertahanan ketiga terdapat respon kekebalan. Sistem kekebalan dapat menghasilkan dua jenis respon terhadap antigen: respon humoral dan respon yang diperantarai oleh sel ( cell mediated immunity). Kekebalan humoral melibatkan aktifasi dari sel B dan diikuti oleh produksi antibodi yang beredar di dalam plasma darah dan limfa. Kekebalan terhadap beberapa infeksi dapat diteruskan jika limfosit T dipindahkan. Jenis kekebalan ini, yang bergantung pada limfosit T dikenal dengan kekebalan yang diperantarai sel. Dalm interaksi limfosit terdapat pensinyalan. Yang terpenting dari pensinyalan ini adalah limfosit T helper, yang merespon terhadap antigen yang disajikan oleh makrofaga dan merangsang sel B maupun sel T lain.
Kekebalan humoral atau kekebalan sel B, yang didasarkan pada sirkulasi antibodi dalam darah dan limfa berperan dalam melawan virus, bakteri dan semua ancaman ekstraselluler lainnya yang bebas. Kekebalan yang diperantarai sel atau kekebalan sel T, bertugas melawan patogen intraselluler dengan cara merusak sel-sel yang terinfeksi. Sel T helper yang mengandung CD4 diaktifkan ketika reseptornya berikatan secara spesifik dengan suatu kompleks MHC kelas II dan antigen permukaan sel penyaji antigen (APC), sel T tersebut akan mensekresi interleukin-2 dan sitokin lain yang mengaktifkan sel-sel B dan sel-sel T sitotoksik.10
Sebagian besar sel T sitotoksik diaktifkan oleh sitokin dan pemgikatan pada kompleks MHC kelas I (antigen pada sel target). Sel T kemudian akan mensekresikan perforin yang akan membentuk lubang yang akan melisikan sel tersebut.
Sel-sel B diaktifkan oleh sitokin dan pengikatan secara spesifik antibodi membran sel tersebut ke antigen ekstraselluler. Sebagian besar dari antigen ini adalah protein atau polisakarida besar yang masing-masing memiliki lebih dari satu epitop. Antibodi yang juga disebut immunoglobulin(Ig) adalah protein serum. Ada lima jenis immunogobulin berdasarkan epitopnya tersebut, yaitu: IgG, IgM, IgA, IgD, Dan IgE.antibodi menetralkan antigen dengan opsonisasi, aglutinasi, prespitasi dan fiksasi komplemen.2,4


MEKANISME PERTAHANAN NONSPESIFIK
MEKANISME PERTAHANAN SPESIFIK
Garis pertahanan pertama
Garis pertahanan kedua

·         Kulit
·         Membran mukosa
·         Sekresi dari kulit dan membran mukosa
·         Sel darah putih fagositik
·         Protein antimikroba
·         Respons peradangan

·         Limfosit  T
·         Antibodi

B.     IMMUNOLOGI PENYAKIT WAJAH, RAHANG DAN SENDI RAHANG
Penyakit yang dapat terjadi pada wajah dan rahang
a.       Osteomyelitis
Osteomyelitis merupakan infeksi yg ekstensif pada tulang rahang yang mengenai spongiosa, sumsum tulang, kortex dan periosteum yang disebabkan organisme bakteri piogenik atau mikobakteri. Bakteri yang dapat menyebabkan penyakit ini antara lain, S. aureus , Enterobacter sp, Haemophilus influenza, dan bakteri batang gram negatif pada genus Fusobacterium & Prevotella.9
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit ostemyelitis, diantaranya komplikasi ringan, septikemia, pneumonia, meningitis, dan  trombosis pd sinus kavernosus.9
Penyakit osteomyelitis dapat disebabkan oleh adanya penyakit periodontal, tertinggalnya bakteri pada alveolus setelah pencabutan gigi, Infeksi tumor / kista odontogen, gangren radiks, pembedahan gigi, trauma wajah yg melibatkan gigi, patah tulang terbuka, dan penyebaran dari stomatitis, tonsilitis, infeksi sinus, infeksi hematogen.9

Perjalanan infeksi osteomyelitis dan respon tubuh
Osteomyelitis pada rahang dan facial dapat terjadi akibat infeksi melalui penyebaran darah terjadi disebabkan adanya bibit bakteri pada aliran darah, keadaan ini ditandai dengan infeksi akut pada tulang yang berasal dari bakteri yang berasal dari fokus infeks primer yang letaknya di sekitar rongga mulut dan dari tulang yang mengalami peradangan. 
Osteomyelitis dapat terjadi akibat infeksi bakteri yang memasuki rongga mulut melewati garis pertahanan pertama: mukosa, ludah dan cairan ginggival. Bakteri akan menghadapi cairan ludah yang memproduksi IgA yang akan disekresikan dalam bentuk sIgA. Sekresi ini juga mengandung protein antimikroba lisozim yang dapat melisiskan bakteri. Namun, bakteri dapat memasuki jaringan dan melewati garis pertahanan pertama ini melalui luka pada mukosa seperti, sariawan dan luka karena trauma. Bakteri yang telah lolos dari pertahanan pertama akan menginduksi reaksi peradangan yang merupakan garis pertahanan kedua pada sistem imun.2

Sel-sel yang dirusak oleh mikroba akan membebaskan sinyal kimiawi secara kemotaksis yang menarik neutrofil,makrofag dan sel natural killer. Sel ini adalah sel basofil dan sel mast, yang akan mengeluarkan histamin yang memicu pembesaran dan peningkatan permeabilitas kapiler di dekatnya. Leukosit dan sel-sel yang rusak akan mengeluarkan prostaglandin yang memicu reaksi lokal berupa meningkatkan aliran darah ke tempat yang luka. Peningkatan aliran ini meningkatkan migrasi sel fagositik yang juga diperantarai oleh faktor kemotaksis(kemokin). Sel fagositik neutrofil dan sel leukosi polimorfonuklear lainnya akan memasuki jaringan yang terinfeksi, lalu menelan dan merusak mikroba. Adapun sel makrofag akan menjerat bakteri dengan pseudopodianya dan melisiskan bakteri pada lisosom.

Osteomyelitis terjadi setelah bakteri lolos dari dua pertahanan tersebut.  Infeksi terjadi melalui aliran darah dari fokus ke tempat yang lain dalam tubuh pada fase bakteremia dan dapat menimbulkan septikemia. Embolus infeksi kemudian masuk ke dalam luksta epifisis pada daerah metafisis tulang panjang. Proses selanjutnya terjadi hiperemi dan edema di daerah metafisis disertai pembentukan pus.9

Pada proses peradangan ini terjadi dengan pengaktifan sitokin berupa interleukin, prostaglandin dan TNF. Interleukin dan TNF yang dihasikan sel-sel radang ini memicu proses radang dan memicu regenerasi fibroblas dan kolagen pada tulang dalam menghadapi infeksi osteomyelitis disamping membunuh bakteri penginfeksi melalui sel T sitotoksik dan respon antibodi. Molekul-molekul TNF-α ini bekerja dengan menstimulasi resorpsi tulang dengan menginduksi proliferasi dan differensiasi progenitor-progenitor osteoklas dan mengaktifkan formasi osteoklas secara tidak langsung.9
Penyakit pada sendi rahang (temporomandibular joint)
Sendi Rahang atau temporomandibular joint (TMJ) adalah daerah langsung didepan kuping pada kedua sisi kepala dimana rahang atas (maxilla) dan rahang bawah (mandible) bertemu. Didalam sendi rahang terdapat bagian-bagian yang bergerak yang memungkinkan rahang atas menutup pada rahang bawah. Penyakit yang sering terjadi pada sendi rahang adalah :
1.      Reumatoid arthritis

Rheumatoid arthritis (RA) merupakan gangguan inflamasi kronik yang dapat mempengaruhi banyak jaringan dan organ, tetapi terutama serangan sendi sinovial. Patologi dari proses penyakit sering menyebabkan penghancuran tulang rawan artikular dan ankilosis sendi.5

RA diduga terjadi karena ada respon imun atau inflamasi karena infeksi. Bisa juga karena autoimunitas. Autoimunitas merupakan hilangnya toleransi sistem kekebalan terhadap diri sendiri dan melancarkan perlawanan terhadap molekul-molekul tertentu tubuh.4 Penyakit autoimun pada artritis reumatoid ini diperantarai oleh antibodi yang mengakibatkan kerusakan dan peradangan yang sangat menyakitkan pada tulang rawan dan tulang-tulang pada persendian.2

Autoantibodi patogen atau sel T yang mengalami auto reaksi bisa menyerang sinovium dan rawan sendi. Kelainan pada pengaturan produksi sitokin proinflamasi atau transformasi komponen seluler sinovium juga dapat memicu autoimunitas ini. Pada reaksi autoimun ini juga didapati peningkatan serum IgA di dalam tubuh.5
Penyakit reumatoid artritis menyebabakan hilangnya tulang sekitar jaringan pendukung gigi disebabkan meningkatnya osteoklastik resorpsi tulang. Resorpsi ini banyak diperantarai oleh peningkatan produksi lokal sitokin pro-inflamatori seperti TNF-α.5
Molekul-molekul TNF-α menstimulasi resorpsi tulang dengan menginduksi proliferasi dan differensiasi progenitor-progenitor osteoklas dan mengaktifkan formasi osteoklas secara tidak langsung. TNF-α juga sebagai mediator proses destruksi jaringan dengan menstimulasi kolagenase dan degradasi kolagen tipe I oleh fibroblas sehingga memicu destruksi jaringan periodonsium.5
2.      Osteoarthritis (OA)

Berbeda dengan reumathoid arthritis, osteoarthritis bukan merupakan peradangan yang disebabkan oleh autoimun, tapi merupakan penyakit yang disebabkan proses degenerasi sehingga terjadi kerusakan rawan sendi. Patogenesis osteoartritis (OA) diyakini bukan hanya proses degeneratif saja, namun melibatkan berbagai unsur inflamatif terutama sinovitis serta keterlibatan tulang subkhondoral.

Selanjutnya telah dapat dibuktikan keterlibatan berbagai media inflamasi, baik prostaglandin, tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukine-1 beta (IL-1β) serta berbagai sitokin lain.8

Prostaglandin telibat dalam peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan sensasi nyeri.

IL-1 diketahui menstimulasi fibroblas untuk menghasilkan kolagenase. IL-1 dikenal paling berpotensi menginduksi proses demineralisasi tulang dan sinergis. dengan tumor necrosis factor α(TNF- α) dalam menstimulasi resorpsi tulang terutama dalam mengubah matriks jaringan ikat.8
3.      Ankilosis

Ankilosis merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik yang terutama mengenai tulang aksial, dimana berakibat pada persendian.

Penyebab dari ankilosa belum diketahui , Tetapi nampaknya faktor genetik berperan. Ada kecenderungan terjadi pada satu kesatuan keluarga dan berhubungan dengan HLA (Human Leukocyte Antigen) gen kelas I, terutama HLA-B27. Ankilosis berkaitan erat dengan HLA-B27. Bahkan pada beberapa studi pada binatang dan laboratorium menyebutkan bahwa molekul HLA-B27 sangat memegang peranan kunci yang utama dan bahwa pergerakan dari antigen MHC (Major Histocompatibility Complex) Kelas I dalam presentasi dari peptida mikrobial adalah mekanisme patogenik yang utama. Bila individu dengan HLA-B27 positif dan dari anggota keluarganya ada yang menderita ankilosa , maka orang tersebut mempunyai faktor risiko yang besar untuk berkembang menjadi ankilosa dibandingkan dengan orang yang tidak ada keluarga yang menderita ankilosa. Diduga ada gen lain, selain HLA-B27 yang ikut serta dalam timbulnya patogenesis ankilosis ini.

4.      Tumor

Pada pemeriksaan patologi-anatomik tumor, sering ditemukan infiltrat sel-sel yang terdiri atas sel fagosit mononuklear, limfosit, sedikit sel plasma dan sel mastosit. Sistem imun yang nonspesifik dapat langsung menghancurkan sel tumor tanpa sensitisasi sebelumnya. Efektor sistem imun tersebut adalah sel Tc, fagosit mononuklear, polinuklear, Sel NK. Aktivasi sel T melibatkan sel Th dan Tc. Sel Th penting pada pengerahan dan aktivasi makrofag dan sel NK.3

Sitotoksitas melalui sel T
Kontak langsung antara sel target dan limfosit T menyebabkan interaksi antara reseptor spesifik pada permukaan sel T dengan antigen membran sel target yang mencetuskan induksi kerusakan membran yang bersifat lethal.
Mekanisme penghancuran sel tumor yang pasti masih belum diketahui walaupun pengrusakan membran sel target dengan hilangnya integritas osmotik merupakan peristiwa akhir. Pelepasan Limfotoksin (LT), interaksi membran-membran langsung dan aktifitas T cell associated enzyme seperti phospholipase diperkirakan merupakan penyebab rusaknya membran.
Interleukin (IL), interferon (IFN) dan sel T mengaktifkan Natural Killer (NK). Sel NK menunjukkan beberapa spesifisitas yang lebih luas terhadap target tumor yang biasanya dibunuh lebih cepat dibanding sel normal.3

Sitotoksisitas melalui makrofag
Makrofag yang teraktivasi berikatan dengan sel neoplastik lebih cepat dibanding dengan sel normal. Makrofag dapat merangsang dan juga menghambat pertumbuhan sel tumor, yang bergantung dengan bagian yang rentan dari sel tumor, ratio makrofag dengan sel target dan status fungsional makrofag.3
KESIMPULAN
Sistem immunologi tubuh memiliki tiga garis pertahanan. Pertahanan pertama meliputi daerah yang kontak langsung denagn linkungan luar tubuh, seperti kulit, mukosa dan sekresi mukosa. Pertahanan kedua melibatkan sel leukosit, protein antimikroba dan respon peradangan. Respon peradangan diawali dengan invasi bakteri atau zat yang dikenal asing bagi tubuh yang dihadapi oleh sel leukosit. Sel-sel mast, basofil dan sel-sel tubuh yang rusak akan memicu keluarnya sinyal-sinyal kimiawi yang disebut sitokin. Sitokin ini terdiri atas interleukin, TNF a, dan interferon. Sitokin ini akan melawan bakteri dan mempengaruhi jaringan dengan reabsorbsi atau perbaikan jaringan.
Garis pertahanan ketiga dapat bekerja bersamaan dengan garis pertahanan kedua atau menyusulnya. Pada sistem kekebalan ini dapat ditemui sel T dan sel B yang membentuk sel T sitotoksik, sel T helper dan antibodi. Sistem kekebalan ini saling bekerjasama melawan infeksi.
Penyakit-penyakit pada wajah, rahang dan sendi rahang antara lain, oeteomyelitis, reumatoid artritis, osteoarthritis, alkilosis dan tumor. Penyakit-penyakit ini memicu respon imunitas tubuh dengan berbagai tahapan. Secara umum, semua penyakit itu melibatkan proses peradangan dan induksi respon seluler dan humoral yang saling bekerjasama.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Roeslan BO. Imunologi oral kelainan di dalam rongga mulut. Jakarta : Penerbit FKUI, 2002 : 1-11
2.      Campbell NA, Reece JB, Mitchelle LG. Biologi. 5th Edition. Trans. Manalu M. Jakarta : Erlangga. 2004: 73-92.
3.      Bast CR. Principles of Cancer Biology : Tumor Immunology. Dalam : Devita VT, Rosenberg SA, Hellman W. eds. Cancer Principles and Practice of Oncology, Ed V, Philadelphia : Lippincett-Reven, 1997; 267-83.
4.      Lamon R.J., Burne RA, Lantz MS, Leblanc, D.L. Oral microbiology and immunology. Wahington : ASM Press, 2006: 39-43.
6.      Periodontist directory. Periodontitis.<http://www.periodontistdirectory.com/gum-disease.asp >.(3 oktober 2011)
7.      Osteomyelitis. < http://en.wikipedia.org/wiki/Osteomyelitis>
8.      Penggunaan Anti-interleukin-1 dalam pengobatan Osteoartritis. <http://www.majalah-farmacia.com> ( 3 Oktober 2011)
9.      Irfan. Osteomyelitis dan Penyebabnya. 11 Juli 2011. <http:// http://gigisehatalami.wordpress.com/2011/07/11/osteomyelitis-dan-penyebabnya/> ( 4 Oktober 2011)
10.  Male D, Brostoff J, Broth DB, Roitt I. Immunology. 7th Edition. Missouri : Mosby Elsivier. 2006: 1-13.